Analisis Banjir dan Tanah Longsor di Kabupaten Garut serta Upaya Penanganannya

Disusun oleh: Fandi Azam Wiranata, Kukuh Kurniadhi, dan Muhammad Agung Ahsary

Agung Ahsary
9 min readDec 6, 2020

Latar Belakang

Wilayah selatan Jawa Barat terutama Kabupaten Garut yang berada di Hulu DAS Cimanuk dikelilingi oleh gunung-gunung berapi yang masih aktif, umumnya kondisi topografi lahan bergelombang, berbukit, dan bergunung. Bencana alam yang melanda wilayah tersebut akhir-akhir ini telah menimbulkan dampak fisik, sosial, ekonomi, dan psikologis yang mengganggu tatanan kehidupan masyarakat. Seperti saat pada hujan lebat yang terjadi di Garut pada tanggal 11 Oktober 2020 sampai pada 12 Oktober 2020 pagi, yang menyebabkan banjir bandang pada beberapa kecamatan yaitu : Kecamatan Cikelet, Kecematan Pameungpeuk, dan Kecamatan Cibalong. Hal yang mendasari terjadinya banjir bandang tersebut salah satunya adalah tanah longsor yang timbul bersamaan dengan hujan lebat. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang umumnya terjadi di wilayah pegunungan (mountainous area), terutama di musim hujan, yang dapat mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa (Baco, Kahirun dan Hasani, 2017) dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya seperti perumahan, industri, dan lahan pertanian yang berdampak pada kondisi sosial masyarakat dan menurunkan perekonomian di suatu daerah. (Yuniarta, Saido dan Purwana, 2015).

Banjir bandang dan Longsor yang terjadi di Kabupaten Garut dapat menjadi trauma massa bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas sehari harinya. Dalam hal ini sebenarnya masyarakat Kabupaten Garut secara potensial hidup di tengah ancaman bencana (living with disasters) yang seringkali muncul secara tiba tiba di luar jangkauan kemampuan manusia untuk menghindarinya (force majeur). Potensi Kabupaten Garut sebagai daerah rawan bencana akan meningkat intensitasnya ketika kualitas kondisi lingkungan hidupnya semakin rusak akibat degradasi sumberdaya alam yang terus berlanjut.

Gerakan material pada saat longsor dapat berlangsung secara lambat maupun cepat. Namun, apapun jenis material dan mekanismenya, dipengaruhi oleh jenis tanah (Hutomo dan Maryono, 2016), curah hujan (Rahmi 2012), penggunaan lahan dan kemiringan lereng (Sitepu Selintung dan Harianto, 2017) yang menjadi faktor tertinggi (Ramadhani dan Idajati 2017). Berdasarkan peta gerakan tanah Kabupaten Garut yang dikeluarkan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMG), banyak wilayah dalam kabupaten ini yang tergolong dalam zona kerentanan gerakan tanah tinggi.

Tinjauan Umum Lokasi

Lokasi berada di Kabupaten Garut terletak di bagian selatan Provinsi Jawa Barat. Daerah ini mempunyai luas sekitar 150.000 ha yang terbentang antara 6055`-7025` LS dan 107042`-108011` BT, dan mempunyai batas –batas:

  • Selatan: Punggung perbukitan menghubungkan puncak Gunung Cikurai, Mandalawangi, dan Papandayan.
  • Timur: Punggung perbukitan memhubungkan puncak gunung Cikurai, Kracak, Telagabodas, dan Cakrabuana.
  • Barat: Perbukitan yang berhubungan dengan Gunung Papandayan, Kendang, Guntur, Harunan, dan Calancang.
  • Utara: Punggung perbukitan di daerah Kecamatan Cadasngampar, Kabupaten Sumedang.

Sub DAS Cimanuk secara administratif mencakup 3 wilayah kabupaten, yaitu: Kabuoaten Garut, Kabupaten Sumedang, dan Kabupaten Bandung. Kabupaten Garut merupakan wilayah terluas dengan 21 kecamatan atau 292 desa. Kabupaten Sumedang mencakup 5 kecamatan atau 54 desa, dan sisanya termasuk dalam Kabupaten Bandung, yaitu Kecamatan Cicalengka.

Topografi

Ibukota Kabupaten berlokasi di ketinggian 717 mdpl, dan dikelilingi oleh Gunung Karacak (1838 m), Gunung Cikuray (2821 m), Gunung Papandayan (2622 m), dan Gunung Guntur (2249 m). Topografi Kabupaten Garut sebelah utara terdiri atas pegunungan dan dataran tinggi, di bagian selatan mempunyai kecuraman yang terjal dan beberapa wilayah agak labil.

Kabupaten Garut memiliki variasi ketinggian tempat dari tempat tertinggi di puncak gunung dan dataran terendah sejajar dengan permukaan laut. Wilayah terendah yaitu Kecamatan Cibalong dan Pameungpeuk dengan ketinggian kurang dari 100 mdpl, sementara Kecamatan Cisompet, Cikelet, Pakenjeng, Pamulihan dan Bungbulan berada di ketinggian 100 –500 mdpl. Wilayah tertinggi terletak pada ketinggian lebih dari 500 mdpl berada pada Kawasan Cikajang, sebagian Pakenjeng — Pamulihan, Cisurupan dan Cisewu.

Jenis tanah pada Kabupaten Garut termuat dalam Tabel 1. Sementara kedalaman tanah pada lokasi dapat dilihat pada Tabel 2. Kabupaten Garut memiliki dua daerah aliran sungai (DAS), yaitu daerah aliran utara dan daerah aliran selatan. Daerah aliran utara bermuara di Laut Jawa yaitu DAS Cimanuk bagian utara. Daerah aliran selatan relative lebih pendek dan sempit serta berlembah –lembah dibanding daerah variasi ketinggian tempat dari tempat tertinggi di puncak gunung dan dataran terendah sejajar dengan permukaan laut. Kabupaten Garut mempunyai 33 sungai, 101 anak sungai dan panjang keseluruhan sungainya 1.397,34 km; 92 km adalah aliran Sungai Cimanuk yang memiliki 58 anak sungai.

Analisis Potensi Tanah Longsor dan Kaitannya dengan Banjir Bandang di Wilayah Garut

Beberapa kejadian banjir bandang, yang terjadi di daerah hilir yaitu Kecamatan Cibalong dan Pameungpeuk, teridentifikasi bahwa proses banjir didahului oleh tanah longsor yang menutup palung sungai sehingga membentuk dam penampung air. Sewaktu hujan turun dan dam yang terbentuk tidak muat menampung air limpasan mengakibatkan dam jebol dan dalam waktu singkat menghasilkan banjir bandang. Proses demikian sangat berbahaya pada daerah yang sebelumnya tidak diperkirakan bakal kebanjiran, apalagi untuk daerah yang rawan kebanjiran.

Fenomena tanah longsor yang terjadi dikarenakan beban tanah pada perbukitan yang curam. Ini diawali dari pembukaan lahan yang dilakukan dengan tujuan bercocok tanam dan pembangunan infrastruktur seperti rumah dan jalan, dilanjutkan dengan beragam aktifitas lainnya seperti pengolahan tanah, pengaliran air untuk sawah, dan lereng yang dipotong. Gambar 1 menunjukkan salah satu contoh tipe penggunaan atau pembukaan lahan di daerah hulu. Ketika musim hujan, beban yang ada diatas tanah tidak dapat ditopang oleh tanah dan juga gelinciran tanah didukung oleh mekanisme dari dalam tanah, ini diakibatkan oleh adanya tanah kedap air yang membuat badan lereng bergerak ke bawah. Subhan (2006) menuliskan, bahwa penyebab utama terjadinya penurunan daya tahan geser tanah akibat akumulasi beban yang terdapat pada permukaan tanah.

Tabel 3. Kondisi zona longsor pada lokasi

Arsjad dan Hartini (2014) menyatakan bahwa kepadatan penduduk juga menjadi salah satu faktor yang berpotensi terhadap terjadinya tanah longsor, dan penduduk miskin dengan tingkat kerawanan fisik longsor. Kondisi daerah sekitar lokasi longsor atau zona longsor diklasifikasikan menjadi 3 kondisi, yakni rawan longsor, potensial dan stabil yang dapat diamati pada tabel 3. Hal ini akan menggambarkan bagaimana potensi bahaya khususnya longsor yang terjadi pada wilayah Garut. Sehingga mitigasi bencana penataan tata ruang, pengurangan resiko bencana dapat dicapai lewat pembacaan peta longsor ini.

Gambar 1. Penggunaan lahan kebun tanaman semusim dan persawahan

Erosi yang terjadi diakibatkan oleh daya jatuh butiran hujan serta besarnya nilai dari ketinggian aliran permukaan. Jumlah sumber mata air di tebing — tebing perbukitan yang banyak juga perlu dijadikan perhatian. Sumber air ini secara kontinu selalu mengeluarkan air. Didasarkan pada Subhan (2019), sumber air tersebut meningkat pada musim hujan, dan berkurang pada musim kemarau.

Kondisi zona stabil dapat menjadi rawan longsor jika kegiatan yang mendukung kejadian semakin bertambah besar. Setiap tahunnya kejadian bertambah besar disebabkan oleh akifitas memotong lereng, pembukaan lahan yang diperuntukkan kegiatan pertanian serta pembangunan infrastruktur. Fungsi suatu daerah seperti merupakan wilayah pemukiman dan dekat dengan infrastruktur jalan, maka memiliki tingkat kerawanan yang tinggi (Putra 2014).

Upaya Penanggulangan

Teknik Pengendalian Banjir

Teknik pengendalian banjir harus dilakukan secara komprehensif pada daerah yang rawan terkena banjir dan daerah pemasok air banjir. Prinsip dasar pengendalian daerah kebanjiran secara teknis dilakukan dengan meningkatkan dimensi palung sungai sehingga aliran air yang lewat tidak melimpah keluar dari palung sungai. Manajemen yang bisa dilakukan adalah dengan membuat tanggul sungai yang memadai serta membuat waduk atau tandon air untuk mengurangi banjir puncak. Untuk memenuhi kapasitas tampung palung sungai, upaya lain yang bisa dilakukan seperti menambah saluran pembuangan air dengan saluran sudetan (banjir kanal atau floodway).

Disamping itu, pengetatan larangan penggunaan lahan di bantaran sungai untuk bangunan, apalagi di badan sungai juga diperlukan, serta larangan pembuangan sampah ke sungai atau saluran drainase. Berdasarkan KepPres No. 32/1990 dan PP No. 47/1997, sungai yang harus merupakan kawasan lindung adalah lebar minimum dari bibir kiri-kanan sungai ke arah darat yang berada :

  • Di luar pemukiman : 100 m
  • Anak sungai : 50 m
  • Daerah pemukiman : 10–15 m
  • Bertanggul (dari tepi luar tanggul) : 5 m

Teknik Pengendalian Tanah Longsor

Teknik pengendalian tanah longsor metode vegetatif harus dipilahkan antara bagian kaki, bagian tengah, dan bagian atas lereng. Stabilisasi tanah diutamakan pada kaki lereng, baik dengan tanaman (vegetatif ) maupun bangunan. Persyaratan vegetasi untuk pengendalian tanah longsor antara lain: jenis tanaman memiliki sifat perakaran dalam (mencapai batuan), perakaran rapat dan mengikat agregat tanah, dan bobot biomassanya ringan. Pada lahan yang rawan longsor, kerapatan tanaman beda antara bagian kaki lereng (paling rapat = standar kerapatan tanaman), tengah (agak jarang = ½ standar) dan atas (jarang = ¼ standar). Kerapatan yang jarang diisi dengan tanaman rumput dan atau tanaman penutup tanah (cover crop) dengan drainase baik, seperti pola agroforestry. Pada bagian tengah dan atas lereng diupayakan perbaikan sistim drainase (internal dan eksternal) yang baik sehingga air yang masuk ke dalam tanah tidak terlalu besar, agar tingkat kejenuhan air pada tanah yang berada di atas lapisan kedap (bidang gelincir) bisa dikurangi bebannya.

Upaya pengendalian tanah longsor metode teknik sipil antara lain berupa pengurugan/penutupan rekahan, reshaping lereng, bronjong kawat, perbaikan drainase, baik drainase permukaan seperti saluran pembuangan air (waterway) maupun drainase bawah tanah. Untuk mengurangi aliran air (drainase) bawah tanah dilakukan dengan cara mengalirkan air secara horizontal melalui terowongan air seperti paritan (trench) dan sulingan (pipa perforasi). Arahan teknik pengendalian tanah longsor dalam berbagai tingkatan kelongsoran dan penggunaan lahan dapat diringkas dalam matrik Tabel 4.

Tabel 4. Arahan Teknik Penanggulangan Bencana Tanah Longsor (Sumber: Tropenbos International Indonesia Programme)

Peringatan Dini Bencana Banjir

Pada daerah hulu peringatan dini dapat dilakukan dengan cara :

  • Menempatkan pengukur hujan di hulu serta menyiapkan akses komunikasi ke wilayah di hilirnya, seperti kentongan. Apabila dalam sehari besarnya curah hujan sudah mencapai 100 mm dan masih terlihat hujan turun cukup lama dan mungkin deras (terutama malam hari) maka masyarakat sekitar daerah rawan banjir harus sudah siap mengungsi atau pindah ke tempat yang lebih tinggi. Informasi ini harus dikirimkan ke daerah rawan kebanjiran di hilirnya.
  • Identifikasi jenis material yg terbawa arus banjir. Jika banyak material non tanah terangkut aliran maka cenderung akan terjadi banjir besar. Banyaknya material non tanah (ranting dan batang pohon) yang terangkut dapat menunjukkan besarnya kekuatan air yang mengangkutnya. Dengan demikian bila material yang terangkut tersebut banyak, maka volume air yang membawanya juga banyak sehingga dapat diprediksi akan adanya banjir besar.
  • Melihat dan mengamati kondisi awan dan lamanya hujan. Bila terlihat awan yang sangat tebal dan hujan yang terus-menerus, terutama jika beberapa hari terjadi turun hujan berurutan, maka bencana banjir akan lebih besar sehingga masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir diinstruksikan agar lebih waspada dan bersiap untuk pindah ke tempat yang lebih tinggi.

Peringatan dini di hulu tersebut secara berurutan di teruskan ke hilir secara sistematis.

Demikian analisis dari kami, terima kasih telah membaca!

Artikel disusun atas pelaksanaan tugas mata kuliah Pengetahuan Lingkungan Kelas 21 — Institut Teknologi Bandung yang diampu oleh Bapak Ihak Sumardi, S.Hut., M.Si., Ph.D.

Daftar Pustaka

[1]. Arsjad ABSM. 2012. Identification of potential landslide risk through remote sensing techniques and GIS in Cianjur distric West Java. Geomatic research division. Bakosurtanal. Cibinong.
[2]. Arsjad ABSM Dan Bambang Riadi.2013. Potensi Risiko Bencana Alam Longsor Terkait Cuaca Ekstrim Di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 19 №1: 57 –63
[3]. Arsjad ABSM dan Hartini S. 2014. Analisis potensi risiko tanah longsor di Kabupaten Ciamis dan Kota Bajar, Jawa Barat.Majalah Ilmiah Globe. Vol. 16 №2: 166–172.
[4]. Baco S L, Kahirun, Hasani U O. 2017. Analisis Daerah Rawan Banjir Dan Tanah Longsor Di Daerah Aliran Sungai Latoma Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Ecogreen Vol. 3 №2. Hal. 71 –78. ISSN 2407 –9049.
[5]. [BAPEKA] Badan Perencanaan Kabupaten Garut. 2001. Data Biofisik dan Penggunaan Lahan di Kabupaten Garut. Garut.
[6]. Faizana F, Nugraha AL, Yuwono BD. 2015. Pemetaan risiko bencana tanah longsor Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip.Vol.4 №1: 223–234.
[7]. Ramadhani N I dan Idajati H. 2017. Identifikasi tingkat bahaya bencana longsor, Studi kasus: Kawasan Lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jurnal Teknik ITS. Vol. 6, №1: C87-C90.
[8]. Santoso H. 2012. Aplikasi “Ssop Bantal” Berbasis Das Untuk Penanggulangan Banjir Dan Tanah Longsor. Jurnal Penanggulangan Bencana Vol 3 No 1 hal. 43–54
[9]. Subhan. 2019. Identifikasi dan penentuan faktor-faktor utama penyebab tanah longsor di Kabupaten Garut, Jawa Barat. [tesis]. IPB-Bogor.

--

--